nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Berdamai Dengan Ketidak Sempurnaan

Rabu, 20 September 2017.

Bisa karena terbiasa. Terbiasa karena dipaksa.

Istilah yang sangat familiar di telinga kita. Saking seringnya istilah tersebut sering menjadi angin lalu saja bagi sebagian orang. Bagi saya, istillah tersebut benar adanya setelah saya sendiri mengalami hal tersebut.

Sejak kecil saya terbiasa hidup teratur. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi setiap harinya relatif terpola. Kenapa bisa? Ya seperti istilah di atas. Semua karena terbiasa, yang awalnya mungkin terpaksa karena aturan orang tua.

Semakin dewasa, saya mulai menyadari hal tersebut yang menurut saya positif. Saya sangat menikmati cara hidup yang teratur dan rapi. Saya sangat berterimakasih kepada kedua orang tua saya yang telah menanamkan sikap tersebut. Saya rasa orang tua saya ingin menanamkan prinsip 'Bunyanun Marsus' (insya Allah di kesempatan selanjutnya akan saya bahas).

Hingga akhirnya ada satu masa dimana keteraturan itu tidak mudah saya jalankan karena perubahan hidup yang saya alami.

Perubahan pertama, ketika awal menikah. Bertemu dengan patner hidup yang berbanding terbalik. Suami saya terbiasa menjalani hidup dengan gaya yang tidak terstruktur dan tidak terpola tetapi tetap punya visi misi yang jelas.

Hingga ketidak stabilan yang saya rasakan karena dalam proses penyesuaian dua karakter yang jauh berbeda. Sehingga seringkali saya uring-uringan sendiri. Satu kesan yang suami dapatkan dari diri saya yaitu terlalu perfeksionis.

Suami saya bilang, ingin berusaha menjadi sempurna itu boleh tetapi memaksakan diri untuk menjadi sempurna adalah hal yang tidak baik karena kesempurnaan itu hanyalah milik Sang Pencipta.

Waktu itu saya tidak terima dengan pernyataan tersebut karena saya tidak terima dengan kata "memaksakan". Saya merasa apa yang saya lakukan karena saya mampu melakukan hal tersebut bukan berlandaskan memaksakan kehendak.

Perubahan kedua, ketika berbagai peran harus saya jalani. Mulai dari menjadi seorang Hamba yang harus taat kepada Tuhannya, seorang " aku" yang memiliki banyak cita-cita dan target diri, seorang istri yang harus mampu mengurus dan melayani suami, seorang ibu dari dua balita yang harus pandai mendidik anak-anak, seorang ibu rumah tangga yang harus mengurus pekerjaan domestik, seorang karyawan/pekerja yang harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya, seorang anak yang tak hilang baktinya meski sudah memiliki kehidupan sendiri, dan masih banyak lagi peran yang dijalankan di luar peran yang telah disebutkan.

Dengan berbagai peran yang harus saya jalani saya harus menentukan strategi untuk bisa mengerjakan semua peran tersebut dengan sempurna. Awalnya saya mampu melakukan hal tersebut meski jam istirahat yang harus benar-benar dipangkas tapi saya merasa ada kepuasan tersendiri ketika berhasil melakukannya.

Hingga satu masa saya
sempat berada di titik terbawah yaitu kebingungan yang melanda sehingga membuat saya tidak berdaya.

Dengan pola yang saya buat, saya kurang mempertimbangkan kendala yang akan saya hadapi yang sedikit mengganggu kelancaran pencapaian target. Karena apa? Karena selama ini saya mampu menangani kendala tersebut sehingga Targetan tetap tercapai.

Di saat saya menjalankan berbagai peran secara bersamaan, saya menemukan banyak kendala sehingga kendala itu memperdaya saya. Contoh kendala tersebut misalnya kondisi diri kita atau anggota keluarga sakit, kemudian bertepatan dengan kondisi kerjaan kantor yang sedang dikejar deadline. Di waktu yang sama anak yang notabene masih balita tidak bisa kerjasama, kemudian kondisi rumah yang kotor dan berantakan.

Pada waktu kondisi tersebut dimana peran suami? Pada dasarnya, suami saya termasuk tipe orang yang tidak sungkan mengerjakan urusan-urusan domestik, ngurus anak-anak, bahkan mengerjakan tugas kantor saya. Tapi hal itu tidak bisa setiap saat mengingat pekerjaan suami yang bisa dibilang sangat padat.

Lengkap sudah kondisi yang saya hadapi. Sukses membuat kebingungan hal apa yang harus saya kerjakan terlebih dahulu. Padahal saya sudah punya agenda harian secara detail perjam-nya. Karena terlalu panik dengan kondisi akhirnya yang ada saya tidak mampu melakukan hal apapun yang ternyata malah memperburuk keadaan.

Setelah sekian lama saya merenung berharap menemukan secercah cahaya agar mampu bangkit dari ketidak berdayaan. Satu hal yang pernyataan yang sering berputar dalam fikiran saya yaitu tentang kesempurnaan. Saya teringat dengan perkataan suami yang bilang saya dengan sebutan perfeksionis.

Mungkinkah saya terlalu memaksakan idealisme? Mungkinkah dan mungkinkah? Sederet pertanyaan terus muncul.

Dengan semua hal yang terjadi saya baru memahami pernyataan suami saya. Bukan berarti saya tidak boleh bersikap perfeksionis, tetapi saya harus mampu berdamai dengan semua hal yang diluar kuasa kita sebagai manusia. Bukankah kita sering mendengar istilah manusia hanya berencana dan Allah yang menentukan?

Akhirnya saya menemukan satu pencerahan. Berdamailah dengan ketidak sempurnaan.

Related Posts

There is no other posts in this category.

0 komentar