Persahabatan antara aku, selimut, kasur dan bantal terasa begitu lekat. Rasanya jengah tapi tak memiliki pilihan. Rasa sakit di bagian perut sejak malam membuatku terpaksa meringkuk seharian.
Waktu berganti bersiap menyambut senja. Kupaksakan menghirup udara luar sekadar melepas penat. Aku teringat perkataan Sang Murobiyah, "Kalau anda sakit, hadirlah ke majlis. Siapa tau dengan hadirnya anda, itulah sebab sehat."
Pemandangan yang selalu kulihat tiap waktu menjelang senja. Beragam kegiatan terjadi, dari mulai sebagian para santri bersama-sama membersihkan asrama dan sekitarnya, sebagian menenteng alat mandi untuk mengantri giliran kamar mandi, dan tak luput beberapa santri yang asyik berbincang dari obrolan A hingga Z.
Rasa hangat menjalar ke lubuk hatiku kala beberapa santri menyambutku. Singkat cerita, kamipun akhirnya berbincang tak jauh dari topik A hingga Z juga. Perkataan Sang Murobiyah memang nyata. Baru sebentar berbincang, sakit sejak semalam akhirnya hilang. Alhamdulillah, Thanks Allah.
Ada satu topik yang cukup menohok hatiku. Sebenarnya bukan karena sekadar topik yang sedang dibicarakan saja, melainkan beberapa hari berturut-turut topik tersebut sampai ke telingaku dari orang yang berbeda-beda.
"Aku tuh paling gak suka kalau ada guru yang kepo."
Begitulah kira-kira curhatan mereka. Untuk merenungi kembali perkataan anak-anak, aku sampai searching apa sih sebenarnya arti kepo itu? Akhirnya kutemukan dalam artikel yang dikeluarkan kompasiana.com. Kepo adalah akronim dari Knowing Every Particular Object yang artinya sebutan untuk orang yang serba ingin tahu dari detail, kemudian kalau ada yang terlintas dibenaknya dia akan terus bertanya. Hal-hal sepele ditanyain, serba ingin tau, ingin tau urusan orang lain dan sebagainya.
"Mungkin, maksud guru kamu itu mau peduli dan perhatian. Jadi bukan maksud kepo, tapi sebagai rasa sayang mereka, akhirnya keluarlah sebuah pertanyaan. Jadi kamu harus berpikir kalau guru itu peduli bukan kepo."
Begitulah kira-kira komentarku. Mengingat akupun termasuk orang yang sering kepo sama mereka. Well, aku mengakui aku termasuk orang yang kepo terhadap siapapun. Catat ya, siapapun. Aku jadi berpikir salah ga ya? Meski positifnya, dari sikap kepo itu aku mengetahui kondisi orang-orang yang udah aku kepoin. Aku merasa bisa lebih memahami ketika tahu.
Saking keponya, terkadang Pak Suami suka komentar ketika dia sedang curhat seseorang, terus keluarlah pertanyaan kepo-ku yang diluar pikirannya. Kemudian dia hanya berdecak kesal, "Lah yang begitu aja masa harus ditanyain?", aku hanya cekikikan aja sebagai tanggapan.
Kembali ke topik kepo, aku sebenarnya yakin kalau guru yang mereka bicarakan bukan masuk kategori 'kepo', tepatnya adalah 'perhatian'.
Nah yang jadi hal mengganjal di hatiku, "Jangan-jangan banyak yang merasa risih dengan ke-kepo-an-ku? Padahalkan niatku hanya peduli."
Dari sanalah aku berpikir. Peduli harus, peduli baik. Tapi... Tidak selamanya rasa peduli kita membuat orang lain nyaman. Tidak semua orang mau berbagi tentang apapun yang ada dihati dan pikirannya bahkan hidupnya. Kalaupun kita peduli, buatlah mereka nyaman terhadap kita, agar mereka secara alami membuka hatinya, mempersilahkan kita masuk dalam hidupnya.
Sebagai seorang yang lebih dewasa (padahal aslinya pengen ngomong tua, tapi rasanya ga enak ngaku tua, wkwkwkwk) punya potensi mengarahkan mereka, jangan membuat mereka merasa 'terdakwa' dengan pertanyaan-pertanyaan kita.
So, bijaklah dalam memberikan perhatian.
Bijaklah dalam bertanya hal apapun.
Jangan sampai rasa peduli kita berubah menjadi rasa kepo.
Terakhir, kepo-lah pada tempatnya.
Pojok Pesantren,
Ahad, 15 Juli 2018
0 komentar